Ditulis oleh kontributor: Davit Yulianto
Judul Buku: Eksistensi Candi Sebagai Karya Agung Arsitektur Indonesia di Asia Tenggara; Penulis: Rahadhian P. H., dkk; Penerbit: Kanisius, 2018; Tebal: 256 halaman.
Indonesia baru saja merayakan kemerdekaannya yang ke-75, momen kemerdekaan ini dimanfaatkan pemerintah untuk kembali mengingatkan kepada masyarakat tentang jargon ‘Indonesia Maju’ yang diharapkan dapat dicapai oleh Indonesia sebagai salah satu negara maju pada 2045. Jika kita menarik mundur pada era klasik tepatnya pada abad 7,8 dan 9, Indonesia yang pada saat itu masih bernama Nusantara menjadi salah satu ‘negara’ maju dibidang Arsitektur/Bangunan. Hal tersebut dapat kita lihat dari berbagai bangunan – bangunan besar yang dibangun oleh kerajaan – kerajaan Hindu dan Budha yang kita kenal dengan candi. Fenomena hadirnya candi di Indonesia menegaskan peran arsitek dalam membangun Candi yang begitu megah bahkan menjulang tinggi.
Jika kita membicarakan candi di Indonesia, pasti tidak jauh dari Candi Prambanan dan Candi Borobudur yang telah dinobatkan oleh UNESCO sebagai “world heritage”. Kedua candi ini adalah bukti bahwa nenek moyang bangsa Indonesia telah memiliki teknologi yang sangat maju terutama dibidang arsitektur. Hadirnya Candi Prambanan masih sering dihubungkan dengan cerita rakyat tentang kisah Bandung Bondowoso yang membangun 1000 candi dalam satu malam untuk syarat pernikahan dengan Roro Jonggrang. Namun seperti cerita rakyat pada umumnya, kisah ini hanyalah sebuah dongeng semata dari mulut ke mulut yang kebenarannya masih belum bisa dibuktikan. Candi Prambanan didirikan oleh Rakai Pikatan dari Wangsa Sanjaya kurang lebih 856 M (Sumartono, 2009: 45) yang dipersembahkan untuk Trimurti yang berarti 3 dewa utama, yaitu Brahma sebagai dewa pencipta, Wisnu sebagai dewa pemelihara, dan Siwa sebagai dewa pemusnah yang juga menjadi dewa utama di Candi Prambanan.
Buku ini menjelaskan bagaimana teknologi pembangunan serta gaya arsitektur yang hadir di Candi Prambanan dan Borobudur menunjukkan bahwa nenek moyang bangsa Indonesia telah mempunyai pengetahuan yang sangat maju dalam menciptakan sebuah bangunan monumental. Selain itu, pembangunan candi – candi besar seperti Sewu, Borobudur, dan Prambanan terjadi hampir diwaktu yang bersamaan, dalam hal ini mengindikasikan bahwa pembangunan dilakukan oleh ratusan bahkan ribuan tenaga kerja yang memiliki skill dan manajerial proyek yang sangat baik.
Dalam pembangunan Candi Prambanan tentu dibutuhkan transformasi teknologi, khususnya perubahan dari candi-candi kecil ke candi-candi besar, di zaman itu (abad 7,8,9) tentunya belum ada alat – alat seperti crane untuk membangun bangunan tinggi, tetapi para leluhur bangsa Indonesia sudah bisa mendirikan bangunan yang berbentuk menara setinggi 47 meter atau setara gedung 10 lantai.
Hadirnya buku ini juga ingin mengungkapkan bahwa bangunan Candi di Indonesia tidak hanya dapat dinilai pada sisi Arkeologis saja, tetapi juga dari sisi Arsitektural baik kerangka dasar bangunan, kerangka tengah, kemuncak diatas, dan berbagai ornament – ornament lainya. Hal itu mengindikasikan candi sama seperti bangunan lain pada umumnya, sehingga tidak bisa dinilai dari sisi statis tetapi juga bisa dinilai dari sisi dinamis.
Selain itu candi yang berada di Indonesia terutama Candi Borobudur, Candi Sewu, dan Candi Prambanan juga dikatakan menjadi inspirasi bagi Candi yang berada di Asia Tenggara terutama di Kamboja seperti Candi Bakong, Preah Ko, Angkor Wat dan Bayon, hal ini dibuktikan melalui metode penelitian Tipomorfologi yang berfokus melihat pada segi sosok, peletakan, denah, pahatan, elemen fisik, dan lain – lain yang berada di masing – masing candi.
Tetapi pada candi – candi kamboja juga ditemui beberapa perbedaaan dengan candi – candi yang berada di Indonesia. Dalam buku ini setidaknya ada dua alasan, yang Pertama, adanya perbedaan material dan teknologi antara Indonesia dan Kamboja. Kedua, adanya pemahaman lain atau local genius dan pemahaman atas kepercayaan Hindu dan Budha. Perbedaan tersebut dapat dilihat seperti bentuk wajah yang Tangible di Candi Bayon, Kamboja dan intangible di Candi Sewu.
Penelitian ini membuktikan meskipun akar tradisi arsitektur candi berasal dari India, namun pendirian bangunan candi menjadi besar dan tinggi adalah hasil buah pikir dan peran para ahli-ahli arsitektur di wilayah nusantara. Di India, pada abad 7,8, dan 9, kuil – kuilnya hanya mempunyai ketinggian sepertiga dari candi – candi di Indonesia, demikian pula negara – negara Indochina lainya seperti Vietnam dan Kamboja. Tradisi membangun bangunan tinggi di Indochina baru dimulai 50-100 tahun sesudah Prambanan didirikan, dengan demikian, teknologi konstruksi bangunan tinggi pada abad ke-9 di Nusantara khususnya Jawa adalah bukti bahwa inovasi nenek moyang bangsa Indonesia adalah yang terbaik terkhususnya di wilayah Asia Tenggara.
Tentang Penulis
Tulisan Terakhir
- Ragam20 November 202410 Sisi Gelap Negara Botswana yang Jarang Diketahui
- Ragam18 November 2024SMM Panel Untuk Tingkatkan Interaksi Bisnis Online
- Ragam13 November 20243 Keunggulan Belanja di Toko Furniture Minimalis
- Ragam13 November 20245 Kelebihan Menggunakan Jasa Import untuk Bisnis