Cerpen: Obesitas

[pernah dimuat di Harian Grobogan, Desember 2016]

            Ia meraba bibir mulut bagian bawahnya dengan telunjuk tangan kanannya. Dirasakannya begitu kering bibir mulut bagian bawah. Kemudian ia juga meraba bibir mulut bagian atasnya. Lebih kering dibandingkan bagian bawah. Kemudian bibirnya ia basahi dengan lidah. Namun sama saja tidak berpengeruh karena lidahnya pun juga kekurangan air. Karena ia butuh air dan memang lagi tidak berminat menuju dispenser , akhirnya ia menggigit bibir bagian bawahnya dengan gigi. Gigi tersebut ia tekan semakin kuat.

            Sembari terus menggigit, ia ingat akan pertemuan ganjil beberapa jam lalu ketika ia bertemu dengan seseorang memakai peci, bersarung dan berpakaian rapi. Wajahnya bercahaya. “Kalau kamu mau kurus, kuncilah bibirmu”.

            Kunci? Ia menggumam.

            “Benar kunci bibirmu sampai 7 hari maka akan ada dua keuntungan yang akan kamu dapat , pertama kamu akan terhindar dari perkataan buruk yang akan mengakibatkan dosa, kedua tentu saja kamu tidak akan obesitas, kamu akan kurus”

            Ada tiga kata yang ia garis bawahi pada perkataan orang itu. Pertama ialah mulut, kedua ialah kunci dan ketiga ialah obesitas. Dan tentu saja kata terakhir merupakan kata yang begitu mengusik dipikirannya. Obesitas. Ia tidak obesitas. Badan gemuk ku tidak sampai obesitas, ia masih kuat futsal, dan puasa pun ia masih kuat. Ia tidak obesitas.

            Sepanjang perjalanan setelah bertemu orang itu, ketiga kata-kata tersebut tidak hilang, malah melekat. Lalu setelah ia sampai kos, maka yang dilakukannya sekarang  ialah menggigit bibirnya. Semakin kuat gigitannya semakin ia meringis kesakitan namun ia teruskan gigitannya.

            Asin. Akhirnya gigitan kuat pada bibir bawahnya membuat air merah keluar. Kemudian ia sentuh dengan jari telunjuknya air merah tersebut. Dilihatnya air merah tersebut dilanjutkan dioleskan ke bibir mulut supaya tidak kering. Setelah itu, lalu ia terpikir tiga kata itu lagi. Ia memikirkan apa kaitannya antara. Mulut, kunci, dan obesitas. Mulut untuk makan, apabila mulut terkunci alias tidak makan, maka ia tidak obesitas. Nalarnya mulai bermain. Ia manggut-manggut. Tapi ia sudah diet selama setahun dan hasilnya hanya turun 2 kilo saja. Ini sudah ia terapkan dan gagal. Ia mulai berpikir lagi, memecahkan masalah yang seperti teka-teki ini. Kunci, apa yang dimaksud dengan kunci?. Ia berpikir keras sambil melihat sekeliling kamar kosnya.

            “Jarum ? Benang ?. Ekspresi wajahnya seperti bertanya-tanya mengapa dikamar kosnya ada jarum dan benang, ia tidak pernah membeli jarum dan benang sebelumnya. Kemudian ia menghampiri jarum dan benangnya. Kemudian melihat jarum secara seksama. Benang pun kemudian menjadi sasaran penglihatannya selanjutnya. Apa maksudnya ini?. Otaknya berpikir kritis sambil berusaha memasukan benang dalam jarum. “Kalau kamu mau kurus, kuncilah bibirmu” kata itu terpikir sekali lagi. Bibir? Dikunci?

            Masuk. Ia bersorak ketika benang akhirnya masuk dalam lubang jarum. Kemudian ia menimang-nimang jarum yang sudah dimasuki benang. Ia terpikir apa mungkin ia harus mengunci bibirnya dengan menjahit bibirnya dengan jarum dan benang. Setelah terdiam selama sepuluh detik, ia pun mengiyakan pikiran tersebut. Pertama ia berusaha memposisikan bibirnya dengan sedikit memajukan bibirnya supaya mudah untuk proses penjahitan. Kedua ia mulai menaruh jarum dengan ujung yang tajam pada bibirnya. Perlahan jari telunjuk dan ibu jari yang memegang jarum mulai menekan jarum ke mulutnya. Rasanya sedikit agak lentur kulit diatas bibirnya yang berusaha ia jahit. Ia tekan semakin dalam, dan ringisan pertama datang. Ketika ujung jarum yang tajam mulai menembus kulit diatas bibirnya rasanya badan panas dan perih. Ia tekan makin ke dalam dan ekspresi wajahnya terlihat makin meringis dengan mata yang terbuka sebelah saja, Ia tekan lagi sampai akhirnya jarum yang tajam tembus, sehingga gusi bisa merasakan benda tajam itu. Seluruh tubuh terasa panas. Ia lanjutkan, kemudian ia membuka mulut dan menarik jarum yang didepan gusi  hingga lolos semua.

            Setelah itu proses tekan menekan berlangsung lagi. Dari proses ini yang ia tidak suka ialah  saat ujung jarum yang panjang dan tajam itu merasakan ingin melubangi kulit. Itu sangat perih dan panas. Itu yang sekarang ia rasakan untuk melakukannya lagi pada kasus menjahit untuk menyatukan bibir bagian atas dan bagian bawah. Ia tekan dalam hingga. Bles. Perihnya menjalar disekitar tubuh ketika jarum berhasil melubangi mulut dan terasa sekali gigi bersentuhan dengan jarum. Ngilu. Setelah itu ia tekan hingga jarum benar-benar keluar dari mulut lagi. Setelah keluar ia ulangi lagi sampai 7 kali. Setelah itu ia ingin merasakan 7 hari derita mulut terkunci. Apa benar ia akan kurus. Tidak obesitas. Mari kita coba.

            Hari pertama, masih sakit semua disekitar bibir setelah proses penjahitan. Semua rasanya tidak enak untuk digerakan. Apabila sedikit saja bibir digerakan akan terasa sakitnya. Sakit perih dibibir serta sakit diperut karena tidak ada makanan yang masuk membuat ia sukses tergeletak dikamar. Dan anehnya pada hari pertama ada sekilas bayangan tentang nikmatnya makan. Ia bisa membayangkan ketika ia menjilat es krim coklat. Begitu nikmatnya.

            Hari kedua, sakit masih terasa dan bayangan enaknya makan masih ia alami namun dengan sensasi berbeda, ia membayangkan memakan es krim itu dengan teman-temannya, dan kemudian ia mengejek temannya hingga teman-temannya tertawa parah namun yang ia ejek hanya diam saja. Itu yang ia bayangkan setelah lemas ini benar-benar menyiksa setelah dua hari tak termasukan makanan dan minuman, juga tak bisa berbicara apapun. Lanjut dihari ketiga, rasa sakit mulai berkurang mungkin mulut mulai bersahabat dengan benang bisa jadi. Namun ditengah lemasnya tubuh, ia membayangkan ketika ia masih kecil, ketika ia menolak dengan entengnya perintah ibu untuk membelikan cabai merah dan ketika itu ibunya dengan wajah kecewa hanya mendengus dan membeli sendiri cabai merahnya. Di hari keempat setelah terjahit, rasa sakit itu hilang dan hanya sesekali saja muncul, dan yang ia bayangkan saat itu ialah saat ia mengeluh karena banyaknya tugas kuliah.

            Bayangan-bayangan tersebut terus muncul seperti adegan terdahulu yang terulang lagi. Kini dihari kelima sakitnya telah hilang total, serta bayangan yang muncul ialah ketika ia marah-marah kepada orang lain. Lalu pada hari keenam ia merasakan keanehan, dirinya tidak lemas lagi, melainkan ia seperti habis makan, hal itu terasakannya setelah terbangun dari tidurnya. Ia merasa kenyang diperutnya. Aneh sekali padahal mulutnya terkunci karena jahitan dan yang ia bayangkan pun berbeda, ia membayangkan saat ia kecil, ia menuruti kata ibunya dan ibunya tersenyum dan berkata “kembaliannya ambil saja”. Dan dihari keenam ia merasa bahagia, karena mulutnya tidak sakit lagi serta ia bayang yang muncul adalah hal yang baik, bukan bayangan seperti hari-hari sebelumnya seperti membayangkan nafsu makan, lalu membayangkan menolak ibunya sampai membayangkan ia marah-marah. Sepetinya mulut yang sudah terkunci selama enam hari telah belajar supaya ia tidak berkata ataupun menyakiti orang lain dengan tajamnya kata-kata.

            Hari keenam telah usai dan sekarang ia menginjak hari terakhirnya. Hari ketujuh. Sama seperti hari ke enam. Ia tidak merasa lapar dan hal yang terbayangkan pun ialah saat dia menjadi pembicara disebuah seminar, mulutnya ia gunakan untuk memotivasi orang lain. Setelah hari itu akan usai, ia melepaskan jahitannya. Rasanya tidak sakit, tidak seperti awal saat dia menjahitnya. Apa mungkin sistem dimulutnya telah mati atau rusak? Kini mulutnya telah tidak terjahit dan bisa berbicara ataupun makan. Kemudian ia berkaca. Ia terkejut. Badannya kurus kering, pipi gembulnya sudah hilang. Pipinya kempot. Dan hal terburuk ia saksikan ialah bibirnya. Bibirnya jelek sekali, monyong dan jijik untuk dilihat, bekas tusukan jarum ada dimana-mana.

            Setelah hari ketujuh, ia bertemu lagi dengan seseorang dengan gaya yang sama berpeci, bersarung dan berpakaian rapi. Pakaiannya pun masih sama dengan yang pertama ia lihat, dan kemudian orang itu berkata. “Kamu sudah kurus ya, tidak obesitas”. Ia hanya mengangguk dan mengikuti langkah pelan dari orang tersebut dan akhirnya pernyataan terlontar begitu saja dari mulutnya.

            “Saya kemarin obesitas”

“Obesitas yang disebabkan bukan karena makanan”

“ Tetapi karena mulut”

“Mulut yang mengeluh dan mencaci”

“Saya….”

“Obesitas”

“Terimakasih sudah memberikan obatnya”

Pria berpeci, bersarung dan berpakaian rapi tersebut dan menghilang tepat dihadapan dirinya. Ia pun juga tidak heran mengapa orang itu hilang, karena mungkin yang mengirimkan benang dan jarum pun dikamarnya ialah orang yang sama.